Sejarah kereta api Indonesia, dari masa kolonial hingga sekarang

Radika Nashiruddin

0 Comment

Link

Jakarta (KABARINDONG) – Sejarah kereta api di Indonesia dimulai pada 17 Juni 1864, ketika pencangkulan pertama dilakukan untuk pembangunan jalur kereta api di Desa Kemijen, Semarang. 

Jalur itu menghubungkan Semarang dengan Vorstenlanden (kini Surakarta dan Yogyakarta) dan menjadi rute kereta api pertama yang dibangun Belanda di Indonesia.

Sejarah kereta api di Indonesia memiliki perjalanan panjang yang dimulai jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan kereta api dari masa kolonial hingga sekarang, berikut adalah ulasan lengkapnya.

Sejarah kereta api Indonesia

Sejarah kereta api di Indonesia bermula pada era kolonial Belanda. Pada 1864, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele, memprakarsai pembangunan jalur kereta api pertama yang menghubungkan Semarang dengan Vorstenlanden sepanjang 26 kilometer.

Perusahaan pertama yang memulai proyek pembangunan kereta api di Indonesia adalah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Setelah berhasil membangun jalur Semarang-Surakarta, NISM memperluas jaringan kereta api ke berbagai wilayah di Pulau Jawa.

Keberhasilan ini mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mendirikan perusahaan kereta api sendiri, yakni Staats Spoorwegen (SS), yang membangun jalur sepanjang 63 kilometer dari Surabaya hingga Pasuruan.

Pada dekade-dekade selanjutnya, jaringan kereta api terus berkembang di Jawa, Sumatra, dan beberapa pulau lainnya. Pembangunan rel di Sumatra dilakukan oleh perusahaan swasta, Deli Spoorweg Maatschappij (DSM). Sementara itu, di Sumatera Barat, pembangunan rel kereta api dilaksanakan oleh perusahaan SS.

Pada masa itu, pembangunan kereta api difokuskan untuk mengangkut hasil bumi seperti gula, kopi, dan tembakau, yang menjadi komoditas utama pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, jalur kereta api di Sumatra juga dibangun untuk mendukung eksploitasi tambang batu bara di Ombilin dan Sawahlunto.

Pada 1942, pemerintahan kolonial Belanda diambil alih oleh Jepang. Sejak saat itu, perkeretaapian Indonesia berada di bawah kendali Jepang dan berganti nama menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api). 

Selain itu, sejumlah jalur rel kereta api dipangkas dan dialihkan untuk pembangunan jalur di Myanmar.

Selama era penjajahan Jepang, operasional kereta api difokuskan pada kepentingan perang. Salah satu proyek yang dibangun pada era ini adalah jalur Saketi-Bayah dan Muaro-Pekanbaru, yang digunakan untuk mengangkut hasil tambang batu bara guna mendukung mesin perang mereka.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, pekerja kereta api berhasil merebut kendali dari penjajah Jepang pada 28 September dan mendirikan Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI). Tanggal itu sekarang diperingati sebagai Hari Kereta Api Nasional.

Namun, tidak semua perusahaan yang sebelumnya dikelola oleh Belanda dapat diambil alih oleh Indonesia sehingga pejuang dan serikat pekerja kereta api untuk menyuarakan nasib industri kepada Menteri Perhubungan saat itu.

Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) kemudian melancarkan aksi untuk merebut pengelolaan kereta api dari penjajah, yang juga menginspirasi Angkatan Moeda Kereta Api (AMDA) untuk melakukan tindakan serupa.

Ribuan pegawai kereta api dan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang bekerja di bawah Jepang menduduki Balai Besar Kereta Api Bandung dan mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang. Sebulan setelah kemerdekaan, AMKA menyatakan bahwa mulai 28 September, perkeretaapian Indonesia resmi di bawah pemerintah Republik Indonesia.

Peristiwa tersebut menandai berdirinya DKARI, yang kemudian berganti nama menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada 1963. Pada 15 September 1971, PNKA diubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).

Selanjutnya, pada 2 Januari 1991, PJKA kembali berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka). Pada 1999, Perumka diganti menjadi PT Kereta Api (KA Persero), dan pada 2010, namanya diubah menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI).

 

Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © KABARINDONG 2024

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment