in

Studi: Ngoyo Kejar Kebahagian Berdampak Buruk terhadap Psikologis

MEMPEROLEH kebahagian mungkin menjadi tujuan hidup setiap orang. Tapi, sebuah studi seperti memperingatkan untuk tidak terlalu mengejar kebahagian, kenapa?

Studi terbaru menyatakan bahwa tekanan untuk selalu merasa bahagia atau di Indonesia disebut ngoyo (memaksakan diri), memiliki efek buruk pada kesejahteraan psikologis seseorang. Kondisi ini biasa disebut dengan istilah toxic positivity.

Istilah toxic positivity sendiri muncul dan didengungkan lebih keras dari sebelumnya di media sosial untuk menghadapi bulan-bulan terberat pandemi Covid-19. Banyak yang mendesak masyarakat untuk tetap bahagia dan positif, apapun situasinya.

Depresi

Dan sekarang, berdasarkan penelitian para ilmuwan Universitas Tilburg Belanda, tekanan masyarakat untuk mengejar kebahagiaan ironisnya memiliki efek buruk pada kesejahteraan psikologis seseorang. Hal ini terutama terjadi di negara-negara yang mendapat skor tinggi pada Indeks Kebahagiaan Dunia (World Happiness Index), dan memiliki standar kebahagiaan yang lebih tinggi.

“Ada hubungan yang kuat antara perasaan perlu bahagia dan sejauh mana orang benar-benar mengalami perasaan seperti kesedihan, kesuraman, kelelahan atau kecemasan,” tulis penelitian tersebut dilansir Indian Express, Selasa (1/3/2022).

BACA JUGA : Hidup Tanpa Memiliki Anak dan Bahagia, Kenapa Tidak?

Penelitian lintas budaya ini dilakukan dengan lebih dari 7.400 peserta di 40 negara. Studi tersebut mengamati bahwa di Belanda (urutan kelima dalam WHI 2021), hubungan antara tekanan untuk bahagia dan kesejahteraan psikologis sebagai indikatornya, sekitar dua kali lebih kuat dibandingkan dengan Uganda atau Ukraina (menempati 119 dan 110 dalam WHI 2021).

BACA JUGA : Peneliti Buktikan Uang Bisa Beli Kebahagiaan

Kamna Chibber, Kepala Departemen Kesehatan Mental, Fortis Memorial Research Institute, Gurgaon, India mengatakan, penting untuk memusatkan perhatian pada penerimaan situasi dalam kehidupan. Dikatakan, mengalami masalah dan kesusahan dengan kondisi tertentu adalah hal yang normal terjadi pada manusia.

Meskipun tujuannya baik, untuk mengalami kegembiraan, tetap positif dan optimis, tetapi masyarakat juga harus merangkul pengalaman dan emosi yang sulit dalam kehidupan. Manusia tidak boleh tidak terus-menerus berusaha untuk menolak atau menyangkal sebuah masalah. Sebaliknya, mereka harus berbalik, menerima, dan tidak berpaling dari situasi tersebut.

“Mengakui bahwa menyangkal, menjaga jarak tidak membantu dalam resolusi. Sebaliknya, merangkul situasi dan mengakui apa yang terjadi pada Anda, emosi dan pikiran Anda, dan bagaimana hal itu mempengaruhi Anda sangat penting untuk dapat bergerak maju,” kata Kamna Chibber.

Di samping itu, Kamna Chibber mengatakan bahwa mempertahankan sikap positif, mengenali ketidakkekalan pikiran, perasaan dan situasi adalah salah satu cara untuk menghargai kebaikan yang ada. Ini juga bisa membantu memelihara kebahagiaan serta kepuasan seseorang.

What do you think?

Written by Uli Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Toxic Positivity, Ketika Seseorang Memaksakan Diri untuk Bahagia dan Berpikir Positif

Melanie Subono Protes Aksi Satpol PP yang Tangkap “Robocop”